Kamis, 18 Maret 2010

Ke (gelisah)an

“ Gila, terkutuk...apakah ini yang saya dapatkan dari institusi pendidikan ?” “ Bayar uang sekian juta, untuk mendapatkan sebuah siklus berupa duduk manis sampai mendengarkan kata-kata yang paling dinanti...Ok, kita lanjutkan minggu depan” “ Ihhh,,,udah banyak baca buku tapi koq tampak bodoh ya ? ketika dihadapkan realita. Dahlia, pagi itu benar-benar dibuat kesal. Sambil bersungut-sungut, ia serasa ingin mengumpat sebuah bangunan besar tempat ia “menuntut” ilmu. Sejenak terbersit bayangan tentang orang tuanya yang berpesan agar menjadi mahasiswa yang baik, biar berguna bagi nusa dan bangsa. “ahhhh,,,slogan macam apalagi itu ??? Mahasiswa ??? hmmm,,,menjadi maha ibarat menyamaratakan dirinya untuk menjadi Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan berbagai Maha lainnya yang identik dengan Tuhan. Akibatnya jelas, merasa sok tahu padahal tidak tahu apa-apa,,,sebab kita adalah generasi yang terpisah dari realitas...” Menjadi mahasiswa adalah sebuah puncak kebanggaan tersendiri bagi manusia yang baru saja lepas status dari “siswa”. Coba bayangkan disana-sini, gedung-gedung megah dan fasilitas mewah siap menyambut dengan sunggingan senyum. Pun, mahasiswa dimitoskan sebagai lapisan pendidikan terhormat dibanding lapisan lain. Hal yang sama, sempat tersemat dalam benak Dahlia. Namun, kejadian pagi itu tiba-tiba merobohkan anggapan yang menyelubungi dirinya. “Sudahlah, untuk sementara saya pergi dulu...menghilangkan sementara kepenatan” . “Gedung itu terlalu kokoh untuk ditaklukan”...”Toh, bukan saya saja yang merasakannya” Baru beringsut selangkah, ia menjumpai kawannya yang agak sesenggukan “Saya tidak mampu bayar SPP, sebab gaji dari orang tua tidak mencukupi”. “Bapak-ibu saya hanya seorang petani yang barusan gagal panen. Dengan upah tergantung pada musim. Selain itu, biaya masuk kuliah didapat dari utangan”...”Saya harus bagaimana lagi ?” “Sabar ya” ucap Dahlia dengan nada datar. Sembari menenangkan, sambil mengucapkan berulangkali kata sabar. Dan entah, sabar model apalagi yang harus dipakai ? Di satu sisi, ditangkapnya sebuah riuh rendah pembicaraan dua rekannya yang berdandan perlente layaknya borjuis kecil. “Walllaaaahhh,,,hanya sebegini SPPnya masih kalah dengan gaji orang tuaku, yang bekerja sebagai direktur perusahaan”...”SPP dengan julah begini, gak bikin bangkrut, tenang aja lah”... Dan sekali lagi, terlontar lagi kata sabar...kali ini yang terpikirkan betapa bengisnya peradaban ini. Dan bagaimana wujud bangsaku ke depan jikalau semua kepala serentak berucap seperti ini.Ya, memang sebuah ironi... Tak lama kemudian ditinggalkanlah, percakapan tersebut. Ia beranjak pergi menjauhi suasana tersebut. Tersebutlah sebuah lokasi dimana, lalu-lalang manusia membawa kertas sambil diburu kecemasan tentang nilai yang akan dipampang dalam Laporan Studi. Apakah ini yang dinamakan cerdas dikala penilaian manusia berdasarkan angka-angka yang tertera dalam secarik kertas ? Kalo begitu apa bedanya kita dengan robot ? Sambil melangkahkan kaki, ia melihat sebuah realitas yang menjadi perhatian khusus pada saat itu. Dilihatnya seorang anak kecil berbadan lusuh sambil menengadahkan tangan. Berharap uang receh akan jatuh ke jari-jemarinya yang mungil. “Nnnnyyyyyuuuuuwwwwwuuuunnnn...”* “Mbak, saya sudah dua hari gak makan...” Hati Dahlia terbuncah oleh pemandangan tersebut, untuk makan saja tidak bisa apalagi untuk menikmati bangku sekolah ataupun sekedar bercengkerama dengan anak seumurannya. Keganasan roda waktu sudah menghisapnya dalam alur kehidupan yang teramat kejam. Hingga pertarungan ini tidak semestinya dihuni oleh anak itu. Pun, yang lebih ironis. Bangku perkuliahan terlalu beku untuk menembus kenyataan tersebut. Kata miskin sudah terpenjara dalam teks-teks kosong dan diurai dalam teori yang pada akhirnya berhenti di lidah. Sekali lagi, apakah status (maha) siswa sudah angkuh untuk sekedar melihat fakta yang sebenarnya ??? ...Kegelisahan tak berhenti di situ saja... Setelah bocah itu pergi, ia kemudian bergumam. “Astaga, betapa beruntungnya aq ini. Ibarat perjudian, aq masih ditempatkan sebagai pemenang. Buktinya masih sempat menyandang level mahasiswa, meskipun kekecewaan baru saja datang membabi-buta. Coba lihat si bocah !?!” “dan lihatlah aku,,,,datang dari keluarga berada. Bapak ibuku masih sanggup mengeluarkan uang berjuta-juta sambil menumpuk harapan akan kemapanan yang akan datang pada diriku nanti” .....Kakipun semakin jauh melangkah..... Kenyataan berikutnya bak camera obscura.Sangat berkebalikan dan bertentangan. Dan kembali dilihatnya sebuah hukum rimba peradaban manusia. Disini terlihat bahwa sekelompok anak muda yang bergaya hidup mewah. Sambil tergopoh-gopoh menenteng barang belanjaan dan tertawa lepas. Tentunya bisa dilihat secara kasat mata, berapa uang yang harus terbayarkan untuk menyulap ke barang-barang konsumsi. “Apakah ini yang disebut adil ?????” “Apakah kenyataan ini murni langsung dari Sang Pencipta ???” “Saya yakin 100%, mereka mampu menikmati segala fasilitas yang ada dengan sejumlah uang yang ada di kantong mereka.....apalagi hanya bangku kuliah” Kemudian ia teringat kata-kata Wolfgang Goethe, penyair Jerman yang pernah berkata bahwa “Uang adalah Dewa Dunia”. Inilah kenyataan yang memang terjadi bahwasanya semua dinilai dari uang mulai dari hal yang sebesar kuman sampai hal yang paling berat sekalipun. Bak dunia yang sudah dibandroli. Pun, keadaan tersebut menjurus kepada logika konsumtif yang terpuaskan lewat hasrat membeli dengan tujuan abstrak. “Beli-beli,,,konsumsi-konsumsi”, seperti yang dikatakan Homicide. Plus embel-embel “You are what you buy”. “Astaga, di pendidikan pun nilai bisa diperjualbelikan” “Apakah arti dari semua ini ???” “yang seperti ini disebut,,,mencerdaskan kehidupan bangsa sekali lagi mencerdaskan dengan tarif sekian ??? “Huuhhh, lelucon macam apalagi yang sedang dipraktekkan oleh negara ini...” “bukankah mereka, sudah berkomitmen untuk menanggung semuanya...apalagi pendidikan. Seperti yang ada dalam pasal 31 UUD 1945, dan selalu aku hapalkan sejak SD...” “Dan,,,buat apa lagi kalau ritual pesta demokrasi selalu diadakan” Kegelisahan tersebut serasa menggumpal, dan menghantui pikiran Dahlia...dan yang hanya bisa dilakukan. “Sabar...sabar...kira-kira sabar macam apalagi ???,,,” Sambil membayangkan, muramnya wajah ibu pertiwi dan betapa mengerikannya jengkal-jengkal kehidupan di Nusantara ini.... ....,Kegelisahan pun berlanjut... “Apa yang bisa saya lakukan ???... “...Dan Nusantara,,,kepada siapa lagi kegelisahan ini akan saya tumpahkan ???..” Ya,,,pertanyaan-pertanyaan tersebut membentur angkuhnya tembok institusi pendidikan ,tenggelam di derap langkah peradaban modernisasi, terperangkap di deretan teks-teks kosong buku. * Minta, dalam bahasa Jawa HKW Mlg, 14/03/09, 03:45 Oya, jeng...sebelumnya aq ucapkan terima kasih atas tulisanmu kemarin...deretan kata2 tersebut menjadi seberkas inspirasi di saraf kepalaku dan hebatnya memecah kegelapan di alam pikiranku untuk selanjutnya saya adu dalam lomba cerpen. Makanya saya paksa kamu untuk kirim tulisan yang sama,,,heheheh....sebab dari apa yang kamu ceritakan bisa saya bahasakan dalam cerpen tentang tidak pedulinya negara ini kepada pendidikan. (ta'buka rahasia dapurku yo)...btw, keep writing...comrade !!!. tentunya kamu ingat kan dengan kata2 pram kemarin “...jikalau kamu menulis, suaramu tak akan lenyap ditelan angin...akan abadi...” Masalah tulisan yang bikin malu atau dsb. Bagiku gak masalah...Seperti halnya seorang balita yang sedang belajar sepeda, dia akan mengalami kejatuhan sebelum benar2 mahir...Artinya perlu latihan, yang sering untuk mengasah ketajaman pikir dan lihainya tangan dalam merangkai ide yang bertebaran sana-sini...Ide ada dimana-mana,,,selmaat mencoba. Btw, aq kena hak cipta gak ??? sebab mengambil sejumput makna dari tulisanmu kemarin,,,hihihihih

0 comments:

Posting Komentar

About Us

Keep Writing ..